Dewi
turun dari mobil dengan bibir merucut, kesal. Apalagi saat pak sopir
mengantarnya sampai ke ruang kepala sekolah. Matanya yang bulat tak henti-henti
menatap berkeliling, mengawasi keadaan sekolah barunya ini. Halaman sekolah
yang berdebu dan sempit, tiang bendera yang sudah karatan dengan bendera merah
putih yang kumal. Juga anak-anak berseragam putih merah seperti dirinya (hanya
saja seragam mereka sangat kumal dan tidak rapi) yang melongok-longok dari
jendela kelas yang kusam untuk tahu siapa murid baru yang datang ke sekolah
mereka.
“Dasar
sekolah udik,” gumamnya sambil memasuki pintu ruang kepala sekolah yang tidak
lebih luas dari kamarnya di Bandung. Dan setelah sopirnya yang sopan
berbasa-basi dengan kepala sekolah, ia diantar oleh wali kelasnya menuju ruang
kelas lima.
“Selamat
pagi, anak-anak. Hari ini kalian punya teman baru, namanya Dewi. Dewi ini
pindahan dari Bandung. Kalian harus berteman baik dengannya, ya...”
“Iya,
bu guru.....” jawab anak-anak serempak.
Lalu
ibu guru menoleh ke arah Dewi. “Nah, Dewi, silakan kamu memperkenalkan diri
kepada teman-temanmu.”
“Nama
saya Asmaradewi Michellia,” ujarnya malas, sementara mata anak-anak sekelas
memerhatikan tas, seragam, sepatu, dan aksesoris mahal yang dikenakannya.
“Saya
pindah ke sini karena ayah saya sakit paru-paru dan harus tinggal di daerah
yang udaranya masih segar. Salam kenal, semuanya.”
Dewi
jengah terus-menerus dipandangi dengan kagum oleh anak-anak desa itu. Dengan
kesal ia melangkah menuju kursi yang sudah ditunjukkan oleh bu guru.
“Halo,
namaku Tito,” teman sebangkunya mengulurkan tangan. Dewi memandang tangan itu
setengah jijik. Ih, tangannya kotor sekali... anak ini juga.... bau! Kemejanya
agak kecoklatan dan tipis menerawang, pokoknya beda banget dengan Dewi yang
kinclong. Akhirnya Dewi menyambut tangan yang terulur itu, meski hanya
menempelkan pucuk-pucuk jarinya di ujung-ujung jari Tito.
“Cantik-cantik
kok sombong, sih,” celetuk Tito sambil menarik tangannya. Anak itu kemudian
mengeluarkan buku-bukunya yang tipis dan terlipat-lipat tidak jelas dari dalam
tas yang bentuknya sudah mengenaskan. Sepertinya sejak kelas satu Tito tidak
pernah ganti tas hingga tasnya sedemikian jeleknya.
Dewi
bergidik. Ya Tuhaaaan, aku rindu sekolahku di Bandung, teman-temanku yang
rapi, rumahku yang besar dan bagus, gumamnya. Ia kemudian ikut mengeluarkan
buku-bukunya yang tebal, wangi dan bersampul rapi. Tito melirik buku-buku
bagusnya, dan anak-anak cowok di sekeliling mereka juga ikut melongok-longok
ingin melihat. Dewi kesal sekali.
“Ngapain
sih kalian lihat-lihat!” bentaknya pada anak-anak itu.
Seisi
kelas terdiam dan bu guru mendatangi bangku Dewi dan Tito. “Dewi, kamu tidak
suka sebangku dengan Tito?”
“Su-suka,
bu....” jawab Dewi takut karena dia belum pernah dimarahi guru.
“Baik.
Kalau begitu tolong duduk yang tenang. Kita mulai pelajaran matematika.”
Sejak
saat itu Dewi dikenal sebagai murid baru yang sombong. Dewi tidak peduli, toh
ia tidak membutuhkan anak-anak itu. Setiap hari sudah ada sopir yang mengantar
jemputnya melewati jalan berbatu yang kasar, dan... oh, ya... jembatan Arwah!
Jembatan
yang akhir-akhir ini sering dibicarakan teman-teman sekelasnya, karena katanya
hantu jembatan arwah muncul lagi. Kalau sedang tidak beruntung, bisa-bisa siapa
saja yang melewatinya akan bertemu sosok hitam besar menyeramkan yang biasa
disebut genderuwo. Sudah banyak yang bertemu si genderuwo, kata
mereka. Dewi memang tidak pernah ikut mengobrol. Saat istirahat ia lebih suka
membaca majalah-majalah yang dibawanya dari Bandung. Ia masih merasa malas
berteman dengan anak-anak yang menurutnya udik itu. Bahkan dengan Tito yang
teman sebangkunya pun, Dewi tidak pernah bercakap-cakap.
Selama
ini Dewi juga tidak takut tiap kali melewati jembatan Arwah, yang sebenarnya
adalah akronim dari Aru-Niwah, yaitu jembatan yang menghubungkan desa Aru
dengan desa Niwah. Kenapa harus takut kalau ia selalu berada di dalam mobil
yang nyaman dan ditemani pak Parto? Haha, kasihan anak-anak itu, harus berjalan
cepat-cepat saat melewati jembatan Arwah....
Tapi
hari ini beda. Pak Parto pulang kampung dan orangtua Dewi ke rumah sakit di
kota untuk check up kesehatan ayahnya. Maka ibu Dewi berpesan baik-baik padanya,
untuk naik becak sesampainya di pasar. Masalahnya, pasar yang tidak jauh dari
sekolahnya itu terletak di seberang jembatan Arwah...
Dewi
menggigit bibirnya, menatap jembatan itu dari kejauhan. Bayangan tentang
genderuwo berkelebatan di kepalanya.
“Aduh,
sudah sepi begini,” gumamnya. Dia memang pulang terakhir karena harus piket
menyapu kelas. Sementara anak-anak lain sudah pulang sejak tadi. Kalau menunggu
ramai lagi, mungkin nanti kalau anak kelas enam pulang, tapi itu juga masih
lama.
“Ah,
nekat saja, lah....” Dewi berjalan pelan-pelan sambil sesekali menutup matanya.
Badannya gemetar saat kakinya menginjak jembatan besar itu. Pohon beringin di
sisi jembatan seolah menambah seram suasana.
“Genderuwo-nya
ada tidak, ya?” batin Dewi ketakutan.
Tiba-tiba....
“Kresek...
kresek.... tap-tap...” terdengar suara di belakang Dewi. Seperti sesuatu yang
diseret-seret, atau langkah kaki yang tersaruk-saruk.
Dewi
tidak berani menoleh. Ia merapatkan tubuhnya di pagar jembatan sambil
memejamkan mata rapat-rapat. Baru ia rasakan sedihnya tidak punya teman di saat
seperti ini.
Dan
tiba-tiba ada sesuatu yang menyentuh pundaknya dari belakang.
“Aaaaaaaahhhhhh!!!!”
Dewi menjerit histeris dan langsung terduduk di tepi jembatan. Ia menangis dan
benar-benar takut.
“Dewi....
ngapain kamu di sini?”
Sebuah
suara yang sangat ia kenal. Dewi mengangkat wajahnya perlahan.
“Ti-Tito....”
ia sangat lega. “Aku kira genderuwo... hiks... hiks...”
Tito
tertawa terpingkal-pingkal melihat reaksi Dewi. Baru sekarang ia melihat anak
cewek yang sombong dan tidak pernah bicara pada siapa-siapa itu menangis begitu
ketakutan.
“Tidak
ada genderuwo di sini,” kata Tito sambil membantu Dewi memungut tasnya
yang terlempar. “Masak anak kota percaya cerita begituan,” Tito tertawa lagi.
Kali ini Dewi tidak bisa marah karena merasa sangat tertolong.
“Kenapa
tidak dijemput?” tanya Tito yang kemudian menemani Dewi menyeberangi jembatan.
“Sopirku
pulang, mobilnya dibawa orangtuaku ke kota. Aku disuruh naik becak. Kamu
sendiri kenapa baru pulang?”
Tito
takjub karena baru kali ini Dewi mau menanyakan sesuatu padanya.
“Oh,
aku dari kantin, mengambil dagangan ibuku di sana,” Tito menunjuk dua nampan
kue di tangannya.
“Oh,
ya.... katanya kamu mau naik becak, kan? Kebetulan sekali... ayahku tukang
becak, lho.... Kamu naik becak ayahku saja, mau? Biar diantar sampai rumah
dengan selamat, dan tidak perlu membayar karena kamu temanku....” Tito berkata
dengan riang, lupa bahwa Dewi tidak pernah menganggapnya teman.
“I-iya....
Terimakasih,” Dewi menjawab tulus. Hatinya lega oleh perasaan lapang dan
penerimaan bahwa teman tidaklah harus orang yang setara dan sekaya dirinya.
Karena kebaikan hatilah yang lebih penting.
Keduanya
berjalan beriringan melintasi jembatan itu. Ah, indahnya persahabatan....
Yogyakarta,
1 Mei 2009
No comments:
Post a Comment