Sunday 26 August 2012

Kunang-kunang

Tiap kali melihat kunang-kunang, aku teringat padamu. Pada masa kita berlarian di pematang sawah. Mengejar layang-layang, menghitungi bintang-bintang di malam purnama. Aku masih saja teringat padamu meski kunang-kunang terakhir telah pergi dari hadapanku malam ini. Aku masih saja mencintaimu seperti kunang-kunang jatuh cinta kepada malam.
***

Di depan sebuah makam ia meletakkan tiga tangkai bunga desember.
“Aku sudah memberimu bunga desember setiap bulan November dimana bunga-bunga desember bermekaran. Tapi kau tetap saja membawa hatinya. Kenapa?”
Aku mendengar suaranya dari bawah pohon kamboja. Suaranya bergetar dan wajahnya begitu sedih.

“Kenapa dia tidak pernah melupakanmu, padahal kau sudah mati?”
Dia selalu bertanya kenapa. Sama sepertiku yang tak tahu mengapa aku tidak pernah berhenti mencintaimu. Padahal benar, kau sudah pergi jauh. Begitu jauh sampai tak mungkin kulihat lagi. Dan kenapa kau harus pergi, Ryu?
Ia pergi sambil sesekali menoleh ke arah makammu. Dan aku berharap hujan turun agar aku tidak melihat airmatanya lagi kali ini. Tapi ia menemukanku di bawah bayangan kamboja.

“Alina,” ujarnya seraya mendekat. “Maaf.”

Matanya begitu sedih saat melewatiku. Serupa matamu saat kunang-kunang yang dulu kita tangkap terbang untuk menyatakan cintanya kepada malam.
Aku menatap makammu dan mendapati bunga desember itu. Kita pernah bersama-sama menanam bunga yang sama dulu. Aku, kau, dan dia. Bersama-sama menghabiskan masa kecil yang penuh kenangan. Yang saat dia pergi meraih mimpinya ke kota, kita lantas saling jatuh cinta. Membiarkannya pergi, melupakannya tanpa tahu betapa ia diam-diam mencintaiku. Sama seperti kunang-kunang yang jatuh cinta kepada malam.
***