Monday 30 September 2013

Jilbab Pertamaku


from here


Minggu-minggu ini blog temen-temen lagi membahas jilbab. Saya jadi pengen ikutan nulis. Tapi nggak mau ngomongin soal Islam yang begini atau begitu, sih. Cuma pengen cerita aja.

Saya sebenarnya sudah lupa kapan pertama kali mengenakan jilbab, terakhir saya ingat akhir tahun 2006. Tapi sepertinya bukan, karena akhir 2006 saya berangkat ke Jogja, dan waktu berangkat itu saya sudah lumayan lama berjilbab. Mungkin akhir 2005 atau pertengahan 2006.

Berawal dari novel yang dipinjamkan seorang saudara saya, Ada Merpati Ingkar Janji-nya mas Sakti Wibowo. Ceritanya tentang Dian yang ditinggal ayahnya pergi tanpa pesan (yang dimaksud dengan merpati yang ingkar janji) sehingga membuatnya harus membantu perekonomian keluarga, di tengah kehidupan kampung yang masih serba terbatas. Saya lupa kisah detilnya, tapi intinya, Dian akhirnya mengenakan jilbab pertamanya, setelah berkenalan dan bergaul dengan suatu majelis di masjid, setelah ia mengenal perempuan-perempuan berjilbab yang sangat baik padanya.

Novel ini saya pinjam gantian dengan teman-teman, lupa siapa saja yang pinjam. Tapi anehnya hanya saya yang setelahnya menangis meraung-raung sendiri di kamar. Di sudut ranjang, memeluk lulut, saya merasa telanjang. Saya entah saat itu ingin bicara sama Allah atau entah apa rasanya, saya berpakaian, tapi merasa sangat hina. Saya baru merasakan itu sekali seumur hidup. Berpakaian tapi merasa telanjang. Lalu merasa nggak pantas bicara padaNya, dan saya hanya bisa menangis. Menangis lama sekali. Saya merasakan rindu yang aneh. Rindu yang meledak-ledak di dalam diri, sulit digambarkan. Dan rindu itu baru terlepas, saat saya mengenakan jilbab. Perasaan yang aneh. Ini adalah perasaan paling indah yang pernah saya rasakan, dan sampai sekarang masih sering saya rindukan. Tapi sayangnya setelah bertahun-tahun, saya belum merasakannya lagi.

Saya lalu mendatangi satu-satunya perempuan berjilbab di daerah RT saya. Meminta pendapat, bertanya-tanya banyak, sampai akhirnya ia meminjami saya banyak buku dan kertas-kertas yang saya butuhkan, tentang Islam, tentang jilbab.

Jangan dikira saya langsung pakai jilbab saat itu juga. Saya bilang sama emak, dan dijawab. “Ora usah, mengko malah elek.”

Tapi saya nekat, berbekal jilbab bekas yang dikasih sama budhe saya (ujungnya sedikit robek), saya mulai berjilbab. Kemarin sempat bercanda sama seorang teman yang bilang, dia nggak pakai jilbab karena nggak punya jilbab. Yah saya ketawa aja sih. Saya aja awal jilbaban pakai jilbab bekas, kok. :D

Emak, walaupun sempat bilang ‘jangan’, tapi nggak pernah benar-benar melarang. Akhirnya malah ia membawakan saya jilbab-jilbab bekas anak majikannya yang nyantri di kota. Alhamdulillah.

Soal baju, saya pakai apa yang ada saja. Kemeja panjang ijo, celana jins biru, eh jilbabnya coklat. Karena adanya cuma itu, sih. Oya, waktu itu saya pengangguran. Seringnya ke pasar untuk mengeposkan naskah cerpen saya ke koran Tren, nah tetangga suka tanya, kalau saya keluar begitu, “Mau pengajian dimana to, nduk?”

Satu persatu, akhirnya jilbab saya mulai lumayan, walaupun itu yang tipis lima ribuan beli di pasar. Saat itu, saya merasa sangat bahagia. Kerinduan-kerinduan aneh itu membuat saya merasa lebih baik. MasyaAllah, sampai sekarang ingin merasakan kerinduan seperti itu lagi... :)

Sebenarnya soal akhlak jilbaber yang ‘buruk’, saya termasuk pelakunya. Awal-awal ke Jogja, saya mulai malas-malasan baca Qur’an. Malas mencari ilmu agama lagi. Sampai akhirnya... pacaran. Iya, saya pengguna jilbab yang buruk. Dan saya menyesali itu sampai sekarang. Berharap ada bagian-bagian hidup yang bisa saya hapus pakai penghapus karet. Ya Allah, betapa saya ingin kembali...

Sekarang, saya hanya bisa bercermin. Berharap menemukan pantulan diri saya di balik cermin itu, yang lebih baik dari yang dulu. Sekarang mulai risih pakai celana jins. Sebenarnya suami nggak memasalahkan sih, kan saya nggak pakai yang ketat, dan baju selalu menutup sampai paha. Kerudung menutup sampai dada. Hanya saja ya itu, sayanya risih sendiri. (Saya di sini nggak menyebut pakai jins itu ‘buruk’ ya, mohon nanti jangan mengatakan saya sok suci karena kalimat ini :p).

Sekarang, di lemari saya ada lebih dari 30 kerudung. Berbagai warna, berbagai ukuran. Hanya saja, saat menatapnya, saya tidak bisa menemukan ‘warna’ yang saya rindukan ketika itu. Saya tidak menemukan kerinduan yang meletup-letup seperti saat selesai membaca kisah Dian dalam novel itu. Dan... saya merindukan perasaan itu...

Mungkinkah iman saya sebegitu tipisnya, ya Rabb... hingga belum KAU ijinkan rindu yang indah itu datang kembali?

Oya, satu hal yang paliiiing ingin saya perbaiki adalah: tulisan saya.
Saya ini berjilbab lho ya, tapi tulisan saya kok tentang orang pacaran. L Ya Allah, ampuni saya...
Kemarin waktu dapat info kalau novel saya cetak ulang, rasanya bukan senang, malah ketar-ketir. Berarti semakin banyak dong yang nanti baca novel saya?

Ada novel duet saya yang sebentar lagi terbit, masih tema itu-itu juga. Dan saya mengedit banyak adegan tanpa ijin dari teman saya. Jadi, teman saya ini penggemar komik berat. Nah, tulisannya mirip komik. Tapi bukan itu masalahnya sih. Masalahnya dia membuat banyak sekali adegan kontak fisik, entah itu hanya merapikan rambut si cewek atau bersandar di bahu si cowok, sampai adegan berpelukan sambil menangis. Nah, adegan-adegan ini saya hapus semua tanpa bilang ke dia dulu. :v
Yah, namanya juga mau memperbaiki diri. Maaf ya Mbak... :D

Sekarang, saya sedang nulis novel yang dari kemarin halamannya nggak nambah-nambah (hehehe...). Ingin sekali, menjadikan itu novel yang santun. Yang nggak ada pacarannya. Yang nggak galau cinta-cintaan saja. Walaupun nggak novel Islami juga. Tempo hari saya ditawari menulis cerpen untuk majalah Suara ‘Aisyiyah (milik Yayasan Muhammadiyah). Cerpennya Islami yang super pendek. Nggak tahu sekarang sudah terbit atau belum, tapi saya senang, menganggap itu permulaan yang baik. Honornya nggak jelas juga gimananya, tapi saya senang, intinya sih :D.

Hmmm... tambahan ya. Ini sekadar cerita. Bukan ingin dianggap baik. Bukan karena sok suci. Sesungguhnya wanita berjilbab nggak ada yang suci. Mereka hanya wanita-wanita yang ingin mentaati perintah Allah saja, paling tidak dengan begitu, mereka terhindar dari dosa ‘meninggalkan kewajiban’. Menurut saya, sih gitu. :)




Friday 27 September 2013

Serangan Debu

Dua bulan terakhir ini saya galau karena serangan debu yang wow banget. Karena jalan depan rumah belum dikeraskan, maka tiap ada motor ada mobil lewat, wuuuussshhh debunya terbang masuk rumah. Emang sih pintu selalu saya tutup tapi nyatanya lantai rumah yang barusan dipel pun dengan cepat berdebu lagi. Daun-daun di pinggir jalan pun sudah tidak hijau lagi, mereka menjelma dedaun coklat pekat yang nggak enak dilihat.

Daerah sini beda dengan daerah di kampung saya yang saat kemarau panjang tanahnya merekah alias mlethek-mlethek dan nggak terlalu banyak debu. Di tanah berpasir ini, debunya lumayan mengerikan. 

Dan semalam sebelum tidur, Alin panas. Panik sih karena hanya punya bodrexin di kotak obat dan dia nggak doyan. Akhirnya semalaman saya susah tidur, memegang tangannya takut panasnya terus naik dan berakibat nggak baik. Tapi syukurlah nggak ada yang terjadi sampai pagi datang, kecuali Alin yang terus mengigau, nggak seperti biasanya. Paginya langsung kami bawa ke bidan, dan benarlah bu bidan bilang, hati-hati dengan debu. Apalagi kami tinggal di jalur delman, dengan kotoran kuda yang mengering di jalan-jalan, katanya itu sangat berbahaya bila terhirup.

Ya sudahlah, untungnya Alin gampang minum obat meskipun makannya akan susah selama sakit.
Wahai hujan, cepatlah datang...

from here

Wednesday 25 September 2013

Sambel Ati Apa Adanya



Lagi pengen masak ati. Berhubung gak ada kentang, yang di kulkas cuma tahu, ya udah apa adanya aja deh. :D

Bahan:
1/2 kg ati-ampela ayam
tahu coklat, potong suka-suka

Bumbu halus:
*empat butir bawang merah
*empat butir bawang putih
*kencur seruas jempol
*cabe merah kriting sesuai selera
*dua butir kemiri

Tambahan:
*tiga lembar daun jeruk
*tomat ukuran sedang, belah-belah
*cabe rawit 10 buah, biarkan utuh
*daun salam dua lembar

#Goreng ati ampela sampai kering, campurkan dengan tahu yang sudah dipotong
#Tumis bumbu halus, tambahkan bumbu tambahan
#Masukkan ati dan tahu, tambahkan air, gula merah, kaldu ayam bubuk, garam, dan saus tiram
#Tutup wajan agar bumbu meresap
#Angkat bila air sudah surut
#Taburi bawang goreng

Ini resep dari tetangga yang kebetulan punya kantin, saya suka banget deh kalo dikasih makanan sama dia, hoho... Enak soalnya :D

Saturday 7 September 2013

Repot

Tadi pagi, saat makan di warung pecel langganan sejak penganten baru dulu, saya bertemu seorang wanita cantik. Ia memakai kemeja kotak-kotak ketat, rok sepan hitam ketat, stocking, sepatu highheels, rambut tersanggul rapi dan menenteng tas hitam berukuran sedang. Wanita ini datang bersama teman-teman prianya, kayaknya sih mereka dari sekolah pramugari atau entah pegawai hotel di dekat situ. Melangkah tertatih-tatih di tanah berbatu yang nggak rata, wanita ini tampak repot mencari pegangan. Saya sempat mikir, dengan dandanan begitu kenapa nggak makan di resto yang lantainya alus biar nggak berkali-kali pengen jatuh?


here


Ketika mau duduk, karena roknya sangat sempit, ia harus berpegangan pada seorang teman prianya, hati-hati sekali menjulrkan kakinya ke kolong meja panjang khas warung pinggiran. Saat pecelnya datang, mbak ini makan dengan perlahaaan sekali. Ia hanya menggunakan tiga jarinya untuk memegang sendok, sementara jari manis dan kelingking dibiarkan bebas sehingga terlihat anggun. Ibu jarinya dibikin bengkok saat memegang sendok, jadinya seperti di pilem-pilem Barbie yang sering saya tonton sama Alin itu penampakannya. Ngomong-ngomong itu yang disebut table manner-kah? Hehe...

Betapa repotnya.
Saya jadi ingat, waktu muda dulu, saya juga pengen cantik. Ingin menjadi pusat perhatian layaknya orang-orang cantik itu. Yah, namanya juga anak perawan, saya juga termasuk yang aneh-aneh tingkahnya. Seolah sebagai orang cantik, semua hal jadi lebih mudah dilakukan. Padahal ternyata, nggak selalu begitu, ya? :D

Sekarang, saya bisa makan lahap tanpa peduli kanan-kiri. Pakai sendok yang caranya biasa aja. Kalau keluar cukup pakai Parasol sama bedak tabur murahan dan lipstik sheer yang biasanya ilang dalam satu jam. Saya paling nggak tahan pakai hak tinggi, pegel di kaki. Pakai itu hanya waktu nikah, itu pun karena terpaksa, dan hampir jatuh pula.

Mbak cantik yang saya lihat tadi, mungkin sebenarnya nggak merasa repot. Sayanya aja yang karena nggak pernah dalam posisi dia, merasa itu repot. Mungkin, ya... :D Kan dia sudah terbiasa seperti itu, sudah merasa nyaman dengan caranya sendiri. Seperti halnya saya nyaman dengan gaya serampangan saya selama ini. Ahahaha...

*yang paling nyaman adalah saat menerima diri sendiri. Walau tidak cantik, walau tidak anggun. Yang penting tidak repot. :D