Tuesday 28 January 2014

Trotoar (cerita pendek)


“Mampir, Mas,” Lastri akhirnya menyapa laki-laki berkaca mata itu.

Ini sudah hari kesekian ia melihat lelaki itu melintas di trotoar tempat ia dan ibunya berjualan pecel lele. Tiap jam lima sore, lelaki itu lewat dengan kepala menunduk menerobos tenda yang sedang didirikan. Ia menerobos ke atas trotoar, melewati bangku-bangku panjang milik Lastri yang biasanya sedang mengiris-iris lalapan. Cukup mengherankan karena orang-orang umumnya akan lewat di sisi jalan raya, bukannya menerobos ke dalam tenda seperti lelaki itu.

“Mampir, Mas, makan,” Lastri semakin nekat. Padahal ia sendiri tahu dagangannya belum siap.

Baginya lelaki itu aneh. Ia mengenakan kemeja yang digulung sampai ke siku dengan ransel hitam dan sepatu mengkilat. Lastri yakin ia bekerja di salah satu perkantoran di sekitar situ. Aneh karena ia tidak pernah tersenyum dan tatapan matanya sangat dingin.

Lelaki itu berhenti dan memerhatikan gadis delapan belas tahun di hadapannya, lalu menarik nafas panjang.

“Saya ndak mau makan di tempat yang mengambil hak orang lain,” ujarnya ketus, sebelum berlalu.

Lastri melongo di tempatnya, mengekori langkah lelaki itu dengan tatapannya.

Mengambil hak orang lain? Hak siapa? Siapa mengambil hak siapa? Dirinya?

“Hoi, Mas!” Lastri meletakkan pisaunya, bergerak hendak meminta penjelasan. Tapi ibunya keburu muncul dari luar tenda.

“Mau kemana, kamu?”

Lastri urung bergerak. Dengan canggung meraih kembali pisaunya. Ibu menatapnya heran.

“Sudah Ibu bilang, jangan pakai kerudung yang aneh-aneh begitu. Kamu jadi susah bekerjanya.”

Lastri tak menjawab. Ia mengiris timun sambil menyadari bahwa salah satu pengait kerudungnya lepas. Sore ini ia mengenakan pashmina lebar warna orange terang yang dililit berkali-kali dan dijepit dengan bros besar. Meniru tren yang dilihatnya di tivi. Mengamati wanita-wanita masa kini yang heboh dengan hijab berbagai gaya tanpa peduli lagi kata syar’i. Kemarin Ibu membelikannya sebuah bergo panjang di pasar, serupa dengan yang biasa dipakai Ibu sehari-hari, kerudung instan panjang sederhana. Tapi sekali-kali ia juga ingin tampil beda, mengikuti zaman.

“Ulurkan kerudungmu ke dada, bukan dilipat-lipat seperti siput begitu! Mana ada orang jualan pecel lele pakai dandanan begitu?” omel Ibu suatu hari saat ia ketahuan sedang mencoba gaya turban yang sedang in.

Lastri mengerti kelembutan hati ibunya, meski omelannya terkadang membosankan. Hidup hanya berdua dengan wanita itu, membuat Lastri tahu setiap omelannya adalah penanda sayangnya. Lastri hanya masih labil, kadang.

“Bu...”

“Ya?” Ibu beringsut membenahi piring-piring rotan.

“Di acara kelulusanku nanti, kita nggak jualan dulu, nggak pa-pa?”

Ibu menghentikan gerakan tangannya. “Nggak pa-pa. Ibu senang kamu lulus dengan nilai bagus. Paling nggak, kerja keras Ibu menyekolahkan kamu nggak sia-sia. Kalau kamu punya ijazah SMU, paling nggak bisa kerja di toko grosir, atau jadi kasir supermarket. Jangan ikut-ikutan kayak Ibu begini.”

“Pekerjaan kita kan halal, Bu,” sergah Lastri, “Kenapa aku nggak boleh ikut-ikutan? Apa karena ada yang bilang kita mengambil hak orang lain?”

Ibu mendesah. “Lelaki berkaca mata itu?”

“Ibu tahu?” Lastri terkejut.

“Dia pernah lewat dan bilang ke Ibu, bahwa kalau kita berjualan di trotoar, berarti kita mengambil hak pejalan kaki. Trotoar ini dibuat untuk mereka, bukan untuk kita. Begitulah.”

Mata Lastri seketika berkaca-kaca. “Terus... kita harus jualan dimana, Bu?”

Ibu menarik nafas panjang. “Lastri, di dunia ini, kita akan banyak bertemu orang-orang yang pandai mengkritik, tapi tidak bisa meninggalkan solusi sama sekali. Kita yang dikritik, maka kita sendiri yang wajib memikirkan solusinya, Nduk.”

Air mata Lastri luruh satu-satu.
***

Sore itu Lastri kembali memandangi ijazah SMU-nya. Itu adalah hal terbaik yang pernah Ibu berikan padanya: pendidikan. Walaupun Ibu hanya seorang janda lulusan SD, Ibu ingin Lastri sekolah lebih tinggi. Lastri bersyukur memiliki harapan yang mampu dimekarkan ibunya meski hanya sampai SMU.

Ia melangkah ke trotoar itu. Hari ini mereka libur berjualan, tidak sempat belanja karena acara kelulusan Lastri berlangsung sampai siang. Trotoar selebar dua meter itu seperti biasa dipenuhi sampah saat ia sampai. Mengenakan bergo panjang berwarna biru laut, Lastri tampak nyaman dan anggun. Ia menunggu lelaki itu.

“Hai Mas,” sapanya saat lelaki itu melintas.

Wajahnya terlihat lelah, dan ia sedikit bingung melihat tenda tidak terpasang seperti biasanya. Juga gadis di depannya yang menampakkan sorot mata berbeda dan dandanan yang lebih sederhana tapi manis. Sorot mata itu penuh percaya diri.

“Aku sudah lulus SMU. Nanti aku akan bekerja jadi kasir supermarket. Aku, dan ibuku tidak akan lagi mengambil hak orang lain seperti yang Mas bilang. Kami minta maaf sudah mengganggu hak pejalan kaki seperti Mas. Terima kasih.”

Lelaki itu melongo. Lastri melangkah meninggalkan trotoar itu tanpa menunggu jawaban. Langkahnya penuh harapan dan mimpi yang baru. Mimpi sederhana untuknya dan ibunya. ***

#dimuat di majalah Suara 'Aisyiyah edisi Oktober 2013

Thursday 9 January 2014

Mencintai Versi Saya

Hari Minggu kemarin saya sakit. Mendadak pusing hebat di pagi hari, dunia rasanya berputar saat saya bergerak. Saat itu, abi baru saja berangka futsal. Alin belum bangun, saya memaksakan diri bangkit dan memasak bubur mutiara untuk sarapan. Saya pikir, setelah sarapan mungkin akan membaik. Ternyata belum. Saya malah muntah-muntah dan makin pusing, kedinginan.

Saya lalu bbm abi dan bilang saya sakit. Baru dibalas satu jam kemudian, setelah futsal selesai. Abi bilang akan langsung pulang.

Abi datang saat saya muntah-muntah dan nyaris ambruk. Sungguh nggak tahu sakit apa itu. Hingga akhirnya, saya dipapah ke kasur, disuapi, dilayani seperti orang sakit beneran. Alin juga berkali-kali menciumi saya, bilang "Aku sayangggg banget sama ummi..."

Hari itu saya hanya tiduran dan makan. Abi memandikan Alin, mengambil baju di laundry, cuci piring, dan memasak kolak sendiri, karena malam sebelumnya saya yang janji mau memasakkannya kolak.

Anehnya saat mendengar dentingan piring yang dicuci abi, hati saya sakit rasanya. Berpikir kenapa harus abi yang cuci piring? Kenapa harus abi yang mengurus Alin hari itu? Saya rasanya nggak rela. Harusnya saya yang melakukan itu semua. Harusnya hari itu abi liburan, futsal, tiduran, dan menikmati masakan saya sambil bermain bersama Alin.

Lalu teringat dulu, waktu saya iseng nerima tawaran ngedit naskah di rumah. Saat itu, saya harus ngedit di atas jam sepuluh malam karena nggak mungkin buka laptop saat Alin belum tidur. Juga, menunggu abi rampung memakai laptopnya karena baru punya satu laptop.

Di hari kesekian, abi bilang sama saya, "Umi nggak usah ngedit lagi, sampai begadang kayak gitu. Yang nyari uang abi aja, udah tugas abi. Umi di rumah aja, jadi ibu dan guru bagi Alin. Abi nggak tega lihat umi sampai nggak tidur begitu cuma buat uang beberapa ratus ribu."

Sejak saat itu, saya nggak ngedit lagi. Memang tersiksa sih, harus begadang begitu. Belum lagi sebentar-sebentar ditanya sama yang punya naskah: udah sampai halaman berapa? Saya jadi tertekan lahir batin rasanya. *halah

Abi tetap membiarkan saya menulis, karena memang hobi dan nggak ada yang mengejar-ngejar kapan selesainya kan? 

Lalu saya mikir, mungkin yang saya rasakan saat sakit, sama kayak yang abi rasakan saat saya begadang mengedit. Betapa saat sakit itu, saya pengen cepat-cepat sembuh, biar abi nggak usah cuci piring lagi. Biar saya bisa masak lagi. Biar abi nggak melakukan apa yang biasanya saya lakukan. Mungkin saya memaknai 'cinta' dengan ini. Beda banget sama waktu muda dulu, waktu saya masih suka pacaran. Sekarang kalau dipikir, saya dulu pacaran itu konyol banget ya? "Cinta" yang saya sebut-sebut saat pacaran dulu, ternyata dangkal dan picisan banget. Malu sekali mengingatnya. Apalagi, toh nggak satu pun di antara mantan pacar saya yang akhirnya melamar saya. Haha...

Alhamdulliah, terimakasih Allah, telah memberikan jodoh yang baik dan keluarga yang hangat untuk saya. :)


from here