from here |
Minggu-minggu ini blog temen-temen lagi membahas jilbab. Saya
jadi pengen ikutan nulis. Tapi nggak mau ngomongin soal Islam yang begini atau
begitu, sih. Cuma pengen cerita aja.
Saya sebenarnya sudah lupa kapan pertama kali mengenakan
jilbab, terakhir saya ingat akhir tahun 2006. Tapi sepertinya bukan, karena
akhir 2006 saya berangkat ke Jogja, dan waktu berangkat itu saya sudah lumayan
lama berjilbab. Mungkin akhir 2005 atau pertengahan 2006.
Berawal dari novel yang dipinjamkan seorang saudara saya,
Ada Merpati Ingkar Janji-nya mas Sakti Wibowo. Ceritanya tentang Dian yang
ditinggal ayahnya pergi tanpa pesan (yang dimaksud dengan merpati yang ingkar
janji) sehingga membuatnya harus membantu perekonomian keluarga, di tengah
kehidupan kampung yang masih serba terbatas. Saya lupa kisah detilnya, tapi
intinya, Dian akhirnya mengenakan jilbab pertamanya, setelah berkenalan dan
bergaul dengan suatu majelis di masjid, setelah ia mengenal perempuan-perempuan
berjilbab yang sangat baik padanya.
Novel ini saya pinjam gantian dengan teman-teman, lupa siapa
saja yang pinjam. Tapi anehnya hanya saya yang setelahnya menangis
meraung-raung sendiri di kamar. Di sudut ranjang, memeluk lulut, saya merasa telanjang.
Saya entah saat itu ingin bicara sama Allah atau entah apa rasanya, saya
berpakaian, tapi merasa sangat hina. Saya baru merasakan itu sekali seumur
hidup. Berpakaian tapi merasa telanjang. Lalu merasa nggak pantas bicara
padaNya, dan saya hanya bisa menangis. Menangis lama sekali. Saya merasakan
rindu yang aneh. Rindu yang meledak-ledak di dalam diri, sulit digambarkan. Dan
rindu itu baru terlepas, saat saya mengenakan jilbab. Perasaan yang aneh. Ini adalah
perasaan paling indah yang pernah saya rasakan, dan sampai sekarang masih sering
saya rindukan. Tapi sayangnya setelah bertahun-tahun, saya belum merasakannya
lagi.
Saya lalu mendatangi satu-satunya perempuan berjilbab di
daerah RT saya. Meminta pendapat, bertanya-tanya banyak, sampai akhirnya ia
meminjami saya banyak buku dan kertas-kertas yang saya butuhkan, tentang Islam,
tentang jilbab.
Jangan dikira saya langsung pakai jilbab saat itu juga. Saya
bilang sama emak, dan dijawab. “Ora usah, mengko malah elek.”
Tapi saya nekat, berbekal jilbab bekas yang dikasih sama
budhe saya (ujungnya sedikit robek), saya mulai berjilbab. Kemarin sempat
bercanda sama seorang teman yang bilang, dia nggak pakai jilbab karena nggak
punya jilbab. Yah saya ketawa aja sih. Saya aja awal jilbaban pakai jilbab
bekas, kok. :D
Emak, walaupun sempat bilang ‘jangan’, tapi nggak pernah
benar-benar melarang. Akhirnya malah ia membawakan saya jilbab-jilbab bekas
anak majikannya yang nyantri di kota. Alhamdulillah.
Soal baju, saya pakai apa yang ada saja. Kemeja panjang ijo,
celana jins biru, eh jilbabnya coklat. Karena adanya cuma itu, sih. Oya, waktu
itu saya pengangguran. Seringnya ke pasar untuk mengeposkan naskah cerpen saya
ke koran Tren, nah tetangga suka tanya, kalau saya keluar begitu, “Mau
pengajian dimana to, nduk?”
Satu persatu, akhirnya jilbab saya mulai lumayan, walaupun
itu yang tipis lima ribuan beli di pasar. Saat itu, saya merasa sangat bahagia.
Kerinduan-kerinduan aneh itu membuat saya merasa lebih baik. MasyaAllah, sampai
sekarang ingin merasakan kerinduan seperti itu lagi... :)
Sebenarnya soal akhlak jilbaber yang ‘buruk’, saya termasuk
pelakunya. Awal-awal ke Jogja, saya mulai malas-malasan baca Qur’an. Malas
mencari ilmu agama lagi. Sampai akhirnya... pacaran. Iya, saya pengguna jilbab
yang buruk. Dan saya menyesali itu sampai sekarang. Berharap ada bagian-bagian
hidup yang bisa saya hapus pakai penghapus karet. Ya Allah, betapa saya ingin
kembali...
Sekarang, saya hanya bisa bercermin. Berharap menemukan
pantulan diri saya di balik cermin itu, yang lebih baik dari yang dulu. Sekarang
mulai risih pakai celana jins. Sebenarnya suami nggak memasalahkan sih, kan
saya nggak pakai yang ketat, dan baju selalu menutup sampai paha. Kerudung menutup
sampai dada. Hanya saja ya itu, sayanya risih sendiri. (Saya di sini nggak
menyebut pakai jins itu ‘buruk’ ya, mohon nanti jangan mengatakan saya sok suci
karena kalimat ini :p).
Sekarang, di lemari saya ada lebih dari 30 kerudung. Berbagai
warna, berbagai ukuran. Hanya saja, saat menatapnya, saya tidak bisa menemukan ‘warna’
yang saya rindukan ketika itu. Saya tidak menemukan kerinduan yang
meletup-letup seperti saat selesai membaca kisah Dian dalam novel itu. Dan...
saya merindukan perasaan itu...
Mungkinkah iman saya sebegitu tipisnya, ya Rabb... hingga
belum KAU ijinkan rindu yang indah itu datang kembali?
Oya, satu hal yang paliiiing ingin saya perbaiki adalah:
tulisan saya.
Saya ini berjilbab lho ya, tapi tulisan saya kok tentang
orang pacaran. L
Ya Allah, ampuni saya...
Kemarin waktu dapat info kalau novel saya cetak ulang,
rasanya bukan senang, malah ketar-ketir. Berarti semakin banyak dong yang nanti
baca novel saya?
Ada novel duet saya yang sebentar lagi terbit, masih tema
itu-itu juga. Dan saya mengedit banyak adegan tanpa ijin dari teman saya. Jadi,
teman saya ini penggemar komik berat. Nah, tulisannya mirip komik. Tapi bukan
itu masalahnya sih. Masalahnya dia membuat banyak sekali adegan kontak fisik,
entah itu hanya merapikan rambut si cewek atau bersandar di bahu si cowok,
sampai adegan berpelukan sambil menangis. Nah, adegan-adegan ini saya hapus
semua tanpa bilang ke dia dulu. :v
Yah, namanya juga mau memperbaiki diri. Maaf ya Mbak... :D
Sekarang, saya sedang nulis novel yang dari kemarin
halamannya nggak nambah-nambah (hehehe...). Ingin sekali, menjadikan itu novel
yang santun. Yang nggak ada pacarannya. Yang nggak galau cinta-cintaan saja. Walaupun
nggak novel Islami juga. Tempo hari saya ditawari menulis cerpen untuk majalah
Suara ‘Aisyiyah (milik Yayasan Muhammadiyah). Cerpennya Islami yang super
pendek. Nggak tahu sekarang sudah terbit atau belum, tapi saya senang,
menganggap itu permulaan yang baik. Honornya nggak jelas juga gimananya, tapi
saya senang, intinya sih :D.
Hmmm... tambahan ya. Ini sekadar cerita. Bukan ingin dianggap
baik. Bukan karena sok suci. Sesungguhnya wanita berjilbab nggak ada yang suci.
Mereka hanya wanita-wanita yang ingin mentaati perintah Allah saja, paling
tidak dengan begitu, mereka terhindar dari dosa ‘meninggalkan kewajiban’. Menurut
saya, sih gitu. :)