Saturday 24 August 2013

Kisah Sederhana

Kisah ini sederhana. Tentang gadis cilik menjelang empat tahun yang malas ke sekolah. Di sekelilingnya tetangga-tetangga bersepeda. Ini hari Sabtu, sekolah teman-teman di perumahan libur.
Gadis cilik itu riang berlari, menghampiri sepedanya. Ia suka protes kenapa sekolahnya tetap masuk di hari Sabtu, padahal sekolah lainnya libur? Kenapa?

"Aku nggak mau sekolah. Aku mau main aja."
Baiklah. Seketika itu juga saya mulai mengingat-ingat. Seolah menghitung hari yang berlalu sejak gadis manis itu mengikuti upacara bendera untuk pertama kalinya. Sebulan? Lebih? Kemarin libur hari raya agak lama, dan saat masuk gadis itu sangat bersemangat menghampiri bangkunya. Hari demi hari berlalu dan ia selalu dipuji guru saat mewarnai.

"Mewarnainya bagus sekali, pintar."

Gadis itu hanya nyengir dan mengamati kawan-kawannya yang tidak sibuk sesibuk dirinya. Oh kenapa mereka tidak sibuk? Karena ada ibu yang menggantikan mewarnai. Beruntunglah gadis itu sangat suka mewarnai, ia tidak butuh bantuan siapapun dalam hal ini.

"Aku udah selesai." Dia bangkit beberapa saat kemudian, menyerahkan bukunya.
Bu Guru menyambutnya lalu memberikan bintang empat di buku itu. Lalu ia tak bisa menahan diri untuk tidak keluar kelas.

"Alina, nggak boleh main dulu. Ayo masuk lagi."

from here

Sesungguhnya ia tak terlalu peduli. Yang ia tahu, saat jam istirahat nanti ia tidak akan bisa menikmati perosotan idamannya itu, karena anak-anak tertentu akan memonopolinya, mendaki dari arah berlawanan hingga ia tak bisa meluncur turun setelah menaiki tangga. Yang ia tahu, ia hanya bisa menikmati perosotan itu saat anak-anak lain sibuk di dalam kelas. Tenang saja, ia pasti dimaklumi. Ibu guru sering sekali bilang. "Aduh, Alina ini masih terlalu kecil."

Sudah sekian lama. Tanpa seorang teman pun. Tidak satu pun bermain dengannya saat jam istirahat. Sesekali mulut kecilnya memanggil nama-nama yang bisa dia ingat, tapi anak-anak yang dipanggilnya terlalu sibuk untuk sekadar menoleh. Gadis manis itu menyendiri, hanya menyaksikan keramaian sekolah kecilnya dari jauh.

Kadang lelah rasanya. Asing dan sedikit menyenangkan. Ia suka lokernya, tempat ia menyimpan barang-barang yang diberikan guru. Fotonya yang dipasang di loker itu terlihat manis, mungil dengan dahi yang terlihat sangat lebar saat tak perponi. Ia menyukai ayunan dan perosotan warna-warni itu. Ia suka saat memasukkan uang seribu ke dalam kaleng yang diedarkan bu Guru untuk makan snack bersama sebelum istirahat.

Meski sebenarnya lebih banyak lagi yang tidak ia mengerti. Kalimat-kalimat panjang gurunya saat ada temannya yang nakal: "Nek kowe nakal koyo ngono, sesuk tak tulis surat kanggo bapak ibumu, ben kowe dipindah neng sekolah kono kae, ben dadi kancane cah-cah sing nek ngomong 'a uk... ah uk' ngono kae."

Saat itu, gadis itu tidak ikut tertawa saat seisi kelas menertawakan guru yang sedang menirukan orang tuna wicara. Karena toh ia tidak mengerti bahasa panjang tadi. Ia tidak juga pernah melihat anak yang bicaranya seperti itu, jadi ia tidak merasa itu lucu. Dan, tidak juga mengerti bagaimana bisa seorang guru mengejek orang cacat semacam itu.

Gadis itu sendirian, lagi. Memandang kejauhan. Teman-temannya sedang riuh bernyanyi di kelas, diselingi suara guru yang sesekali berkata, "Ayo, yang ribut sendiri tak suruh keluar sana, nggak usah ikut belajar temannya. Yang nggak nyanyi berarti dapatnya nol nggak dapat bintang."
Ia berpindah cepat dari perosotan, menghampiri ayunan merah muda kesayangannya.

Ayunan itu bergoyang perlahan.
Nanti sepulang sekolah, ia juga akan berkata pada boneka-bonekanya, menirukan bu Guru dengan kalimat favoritnya saat jam istirahat. "Adik, Sarinah, Annisa, Gufi... kalo main nggak boleh nakal-nakalan, ya... Ntar dikeluarin dari sekolah sama Bu Guru."

Ayunan itu bergoyang. Menunggu jam pulang.[]


2 comments:

  1. Alina, memang enakan main kok daripada sekolah :v

    Eh, aku kadang menemukan kesalahan cara mendidik anak di Indonesia.

    Kata "jangan" atau menakut-nakuti anak itu pada akhirnya ntar memengaruhi psikologis si anak,
    Aku nggak lihat siapa-siapa sih, tapi lihat di perkembangan mentalku yang imbisil :v

    Waktu kecil, pernah pas main lumpur, sama seseorang dibilangin "jangan memegang laba-laba, ntar kalau digigit." ----> efek: sampai sekarang phobia akut sama laba-laba -_-

    Dan banyak sekali kata 'jangan' yang sampai sekarang memengaruhi perkembangan mentalku.
    Shit, they did something wrong to me -_-

    Dan sekarang, sejak punya bayi (anaknya Mbakku), kan tiap kerja anaknya sama aku dan ibuku, jadinya yang tahu perkembangan si anak aku sama ibu---kakak cuma tahu dikit-dikit.
    Ini mulai ketakutan sama tokek.
    Soalnya sama kakak, pas ada tokek bunyi dan adik kecil ini gak mau tidur, kakak bilang "Ntar tokeknya masuk rumah kalau kamu nggak tidur-tidur,"

    Sampai negur kakak, kalau mengasuh anak nggak usah pakai "jangan" dan kata-kata negatif lain, soalnya anak umur segitu otaknya masih berkembang

    Lha ini nek sama aku malah tak suruh megang lele mati, ulet, dll (kecuali laba-laba -_-)

    *kenapah ane curcol, Gan* xD

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya... apalagi kata "kamu nakal" itu haram bgt diucapkan. Anak tetanggaku sejak kecil ditakut2i hantulah, dimasukin kantong pemulung lah... eh akhirnyasampe gede dia ga berani ngapa2in sendiri, harus ditemani terus. Dan egoisnya, ortunya malah bilang "walah kebangeten wis gede kok wedinan."
      Padahal kan itu salahe mereka sendiri :v

      Delete