“Mampir, Mas,” Lastri akhirnya menyapa laki-laki berkaca mata itu.
Ini sudah hari kesekian ia melihat lelaki itu melintas di trotoar
tempat ia dan ibunya berjualan pecel lele. Tiap jam lima sore, lelaki itu lewat
dengan kepala menunduk menerobos tenda yang sedang didirikan. Ia menerobos ke
atas trotoar, melewati bangku-bangku panjang milik Lastri yang biasanya sedang
mengiris-iris lalapan. Cukup mengherankan karena orang-orang umumnya akan lewat
di sisi jalan raya, bukannya menerobos ke dalam tenda seperti lelaki itu.
“Mampir, Mas, makan,” Lastri semakin nekat. Padahal ia sendiri tahu
dagangannya belum siap.
Baginya lelaki itu aneh. Ia mengenakan kemeja yang digulung sampai
ke siku dengan ransel hitam dan sepatu mengkilat. Lastri yakin ia bekerja di
salah satu perkantoran di sekitar situ. Aneh karena ia tidak pernah tersenyum
dan tatapan matanya sangat dingin.
Lelaki itu berhenti dan memerhatikan gadis delapan belas tahun di
hadapannya, lalu menarik nafas panjang.
“Saya ndak mau makan di tempat yang mengambil hak orang
lain,” ujarnya ketus, sebelum berlalu.
Lastri melongo di tempatnya, mengekori langkah lelaki itu dengan
tatapannya.
Mengambil hak orang lain? Hak siapa? Siapa mengambil hak siapa?
Dirinya?
“Hoi, Mas!” Lastri meletakkan pisaunya, bergerak hendak meminta
penjelasan. Tapi ibunya keburu muncul dari luar tenda.
“Mau kemana, kamu?”
Lastri urung bergerak. Dengan canggung meraih kembali pisaunya. Ibu
menatapnya heran.
“Sudah Ibu bilang, jangan pakai kerudung yang aneh-aneh begitu.
Kamu jadi susah bekerjanya.”
Lastri tak menjawab. Ia mengiris timun sambil menyadari bahwa salah
satu pengait kerudungnya lepas. Sore ini ia mengenakan pashmina lebar warna
orange terang yang dililit berkali-kali dan dijepit dengan bros besar. Meniru
tren yang dilihatnya di tivi. Mengamati wanita-wanita masa kini yang heboh
dengan hijab berbagai gaya tanpa peduli lagi kata syar’i. Kemarin Ibu
membelikannya sebuah bergo panjang di pasar, serupa dengan yang biasa dipakai
Ibu sehari-hari, kerudung instan panjang sederhana. Tapi sekali-kali ia juga
ingin tampil beda, mengikuti zaman.
“Ulurkan kerudungmu ke dada, bukan dilipat-lipat seperti siput
begitu! Mana ada orang jualan pecel lele pakai dandanan begitu?” omel Ibu suatu
hari saat ia ketahuan sedang mencoba gaya turban yang sedang in.
Lastri mengerti kelembutan hati ibunya, meski omelannya terkadang
membosankan. Hidup hanya berdua dengan wanita itu, membuat Lastri tahu setiap
omelannya adalah penanda sayangnya. Lastri hanya masih labil, kadang.
“Bu...”
“Ya?” Ibu beringsut membenahi piring-piring rotan.
“Di acara kelulusanku nanti, kita nggak jualan dulu, nggak pa-pa?”
Ibu menghentikan gerakan tangannya. “Nggak pa-pa. Ibu senang kamu
lulus dengan nilai bagus. Paling nggak, kerja keras Ibu menyekolahkan kamu
nggak sia-sia. Kalau kamu punya ijazah SMU, paling nggak bisa kerja di toko
grosir, atau jadi kasir supermarket. Jangan ikut-ikutan kayak Ibu begini.”
“Pekerjaan kita kan halal, Bu,” sergah Lastri, “Kenapa aku nggak
boleh ikut-ikutan? Apa karena ada yang bilang kita mengambil hak orang lain?”
Ibu mendesah. “Lelaki berkaca mata itu?”
“Ibu tahu?” Lastri terkejut.
“Dia pernah lewat dan bilang ke Ibu, bahwa kalau kita berjualan di
trotoar, berarti kita mengambil hak pejalan kaki. Trotoar ini dibuat untuk
mereka, bukan untuk kita. Begitulah.”
Mata Lastri seketika berkaca-kaca. “Terus... kita harus jualan
dimana, Bu?”
Ibu menarik nafas panjang. “Lastri, di dunia ini, kita akan banyak
bertemu orang-orang yang pandai mengkritik, tapi tidak bisa meninggalkan solusi
sama sekali. Kita yang dikritik, maka kita sendiri yang wajib memikirkan
solusinya, Nduk.”
Air mata Lastri luruh satu-satu.
***
Sore itu Lastri kembali memandangi ijazah SMU-nya. Itu adalah hal
terbaik yang pernah Ibu berikan padanya: pendidikan. Walaupun Ibu hanya seorang
janda lulusan SD, Ibu ingin Lastri sekolah lebih tinggi. Lastri bersyukur
memiliki harapan yang mampu dimekarkan ibunya meski hanya sampai SMU.
Ia melangkah ke trotoar itu. Hari ini mereka libur berjualan, tidak
sempat belanja karena acara kelulusan Lastri berlangsung sampai siang. Trotoar
selebar dua meter itu seperti biasa dipenuhi sampah saat ia sampai. Mengenakan
bergo panjang berwarna biru laut, Lastri tampak nyaman dan anggun. Ia menunggu
lelaki itu.
“Hai Mas,” sapanya saat lelaki itu melintas.
Wajahnya terlihat lelah, dan ia sedikit bingung melihat tenda tidak
terpasang seperti biasanya. Juga gadis di depannya yang menampakkan sorot mata
berbeda dan dandanan yang lebih sederhana tapi manis. Sorot mata itu penuh
percaya diri.
“Aku sudah lulus SMU. Nanti aku akan bekerja jadi kasir
supermarket. Aku, dan ibuku tidak akan lagi mengambil hak orang lain seperti
yang Mas bilang. Kami minta maaf sudah mengganggu hak pejalan kaki seperti Mas.
Terima kasih.”
Lelaki itu melongo. Lastri melangkah meninggalkan trotoar itu tanpa
menunggu jawaban. Langkahnya penuh harapan dan mimpi yang baru. Mimpi sederhana
untuknya dan ibunya. ***
#dimuat di majalah Suara 'Aisyiyah edisi Oktober 2013