Monday 23 July 2012

Payung

kaubilang hujan masih perawan
ketika aku datang
dan buih-buih lindap di balik pagar
mencari detak sunyimu.
kaubilang petir begitu dalam mengenali hatimu
yang bagai patung hidup: diam namun bernyawa; diam dan tak bisa terluka

ah, apakah itu maksud ceritamu?
bahwa luka-luka tak lagi berharga
saat aku datang membawakan mendung untukmu
menghadapi petirmu, dan tirai-tirai putih yang membukakan pintu menuju diam.
(apakah aku masih belum pantas
menjadi payungmu?)


Sabtu, 25 April 2009

Friday 20 July 2012

Dandelion

Dandelion. Awalnya aku hanya suka memainkannya semasa kecil. Berkeliaran di kebun-kebun mete milik orang dan menemukan mereka. Dandelion yang menari.

Dandelion terbang dalam sunyi. Meliuk-liuk dan tak pernah kembali. Akankah pohonmu tidak merindukan kepergianmu, wahai Dandelion kecil?

Pernah aku berpikir, seandainya cinta bisa dititipkan pada dandelion yang terbang, akan sampai dimanakah cinta itu?

Mungkin ia tiba di tepi sungai
Mungkin ia jatuh di lengan jembatan
Mungkin ia terbawa aliran hujan
Mungkin ia terinjak sepasang kaki anak kecil yang berkejaran.
Atau mungkin.... ia benar-benar sampai di hatimu....

Wednesday 18 July 2012

Jembatan Arwah


Dewi turun dari mobil dengan bibir merucut, kesal. Apalagi saat pak sopir mengantarnya sampai ke ruang kepala sekolah. Matanya yang bulat tak henti-henti menatap berkeliling, mengawasi keadaan sekolah barunya ini. Halaman sekolah yang berdebu dan sempit, tiang bendera yang sudah karatan dengan bendera merah putih yang kumal. Juga anak-anak berseragam putih merah seperti dirinya (hanya saja seragam mereka sangat kumal dan tidak rapi) yang melongok-longok dari jendela kelas yang kusam untuk tahu siapa murid baru yang datang ke sekolah mereka.
“Dasar sekolah udik,” gumamnya sambil memasuki pintu ruang kepala sekolah yang tidak lebih luas dari kamarnya di Bandung. Dan setelah sopirnya yang sopan berbasa-basi dengan kepala sekolah, ia diantar oleh wali kelasnya menuju ruang kelas lima.
“Selamat pagi, anak-anak. Hari ini kalian punya teman baru, namanya Dewi. Dewi ini pindahan dari Bandung. Kalian harus berteman baik dengannya, ya...”
“Iya, bu guru.....” jawab anak-anak serempak.
Lalu ibu guru menoleh ke arah Dewi. “Nah, Dewi, silakan kamu memperkenalkan diri kepada teman-temanmu.”
“Nama saya Asmaradewi Michellia,” ujarnya malas, sementara mata anak-anak sekelas memerhatikan tas, seragam, sepatu, dan aksesoris mahal yang dikenakannya.
“Saya pindah ke sini karena ayah saya sakit paru-paru dan harus tinggal di daerah yang udaranya masih segar. Salam kenal, semuanya.”
Dewi jengah terus-menerus dipandangi dengan kagum oleh anak-anak desa itu. Dengan kesal ia melangkah menuju kursi yang sudah ditunjukkan oleh bu guru.
“Halo, namaku Tito,” teman sebangkunya mengulurkan tangan. Dewi memandang tangan itu setengah jijik. Ih, tangannya kotor sekali... anak ini juga.... bau! Kemejanya agak kecoklatan dan tipis menerawang, pokoknya beda banget dengan Dewi yang kinclong. Akhirnya Dewi menyambut tangan yang terulur itu, meski hanya menempelkan pucuk-pucuk jarinya di ujung-ujung jari Tito.
“Cantik-cantik kok sombong, sih,” celetuk Tito sambil menarik tangannya. Anak itu kemudian mengeluarkan buku-bukunya yang tipis dan terlipat-lipat tidak jelas dari dalam tas yang bentuknya sudah mengenaskan. Sepertinya sejak kelas satu Tito tidak pernah ganti tas hingga tasnya sedemikian jeleknya.
Dewi bergidik. Ya Tuhaaaan, aku rindu sekolahku di Bandung, teman-temanku yang rapi, rumahku yang besar dan bagus, gumamnya. Ia kemudian ikut mengeluarkan buku-bukunya yang tebal, wangi dan bersampul rapi. Tito melirik buku-buku bagusnya, dan anak-anak cowok di sekeliling mereka juga ikut melongok-longok ingin melihat. Dewi kesal sekali.
“Ngapain sih kalian lihat-lihat!” bentaknya pada anak-anak itu.
Seisi kelas terdiam dan bu guru mendatangi bangku Dewi dan Tito. “Dewi, kamu tidak suka sebangku dengan Tito?”
“Su-suka, bu....” jawab Dewi takut karena dia belum pernah dimarahi guru.
“Baik. Kalau begitu tolong duduk yang tenang. Kita mulai pelajaran matematika.”
Sejak saat itu Dewi dikenal sebagai murid baru yang sombong. Dewi tidak peduli, toh ia tidak membutuhkan anak-anak itu. Setiap hari sudah ada sopir yang mengantar jemputnya melewati jalan berbatu yang kasar, dan... oh, ya... jembatan Arwah!
Jembatan yang akhir-akhir ini sering dibicarakan teman-teman sekelasnya, karena katanya hantu jembatan arwah muncul lagi. Kalau sedang tidak beruntung, bisa-bisa siapa saja yang melewatinya akan bertemu sosok hitam besar menyeramkan yang biasa disebut genderuwo. Sudah banyak yang bertemu si genderuwo, kata mereka. Dewi memang tidak pernah ikut mengobrol. Saat istirahat ia lebih suka membaca majalah-majalah yang dibawanya dari Bandung. Ia masih merasa malas berteman dengan anak-anak yang menurutnya udik itu. Bahkan dengan Tito yang teman sebangkunya pun, Dewi tidak pernah bercakap-cakap.
Selama ini Dewi juga tidak takut tiap kali melewati jembatan Arwah, yang sebenarnya adalah akronim dari Aru-Niwah, yaitu jembatan yang menghubungkan desa Aru dengan desa Niwah. Kenapa harus takut kalau ia selalu berada di dalam mobil yang nyaman dan ditemani pak Parto? Haha, kasihan anak-anak itu, harus berjalan cepat-cepat saat melewati jembatan Arwah....
Tapi hari ini beda. Pak Parto pulang kampung dan orangtua Dewi ke rumah sakit di kota untuk check up kesehatan ayahnya. Maka ibu Dewi berpesan baik-baik padanya, untuk naik becak sesampainya di pasar. Masalahnya, pasar yang tidak jauh dari sekolahnya itu terletak di seberang jembatan Arwah...
Dewi menggigit bibirnya, menatap jembatan itu dari kejauhan. Bayangan tentang genderuwo berkelebatan di kepalanya.
“Aduh, sudah sepi begini,” gumamnya. Dia memang pulang terakhir karena harus piket menyapu kelas. Sementara anak-anak lain sudah pulang sejak tadi. Kalau menunggu ramai lagi, mungkin nanti kalau anak kelas enam pulang, tapi itu juga masih lama.
“Ah, nekat saja, lah....” Dewi berjalan pelan-pelan sambil sesekali menutup matanya. Badannya gemetar saat kakinya menginjak jembatan besar itu. Pohon beringin di sisi jembatan seolah menambah seram suasana.
Genderuwo-nya ada tidak, ya?” batin Dewi ketakutan.
Tiba-tiba....
“Kresek... kresek.... tap-tap...” terdengar suara di belakang Dewi. Seperti sesuatu yang diseret-seret, atau langkah kaki yang tersaruk-saruk.
Dewi tidak berani menoleh. Ia merapatkan tubuhnya di pagar jembatan sambil memejamkan mata rapat-rapat. Baru ia rasakan sedihnya tidak punya teman di saat seperti ini.
Dan tiba-tiba ada sesuatu yang menyentuh pundaknya dari belakang.
“Aaaaaaaahhhhhh!!!!” Dewi menjerit histeris dan langsung terduduk di tepi jembatan. Ia menangis dan benar-benar takut.
“Dewi.... ngapain kamu di sini?”
Sebuah suara yang sangat ia kenal. Dewi mengangkat wajahnya perlahan.
“Ti-Tito....” ia sangat lega. “Aku kira genderuwo... hiks... hiks...”
Tito tertawa terpingkal-pingkal melihat reaksi Dewi. Baru sekarang ia melihat anak cewek yang sombong dan tidak pernah bicara pada siapa-siapa itu menangis begitu ketakutan.
“Tidak ada genderuwo di sini,” kata Tito sambil membantu Dewi memungut tasnya yang terlempar. “Masak anak kota percaya cerita begituan,” Tito tertawa lagi. Kali ini Dewi tidak bisa marah karena merasa sangat tertolong.
“Kenapa tidak dijemput?” tanya Tito yang kemudian menemani Dewi menyeberangi jembatan.
“Sopirku pulang, mobilnya dibawa orangtuaku ke kota. Aku disuruh naik becak. Kamu sendiri kenapa baru pulang?”
Tito takjub karena baru kali ini Dewi mau menanyakan sesuatu padanya.
“Oh, aku dari kantin, mengambil dagangan ibuku di sana,” Tito menunjuk dua nampan kue di tangannya.
“Oh, ya.... katanya kamu mau naik becak, kan? Kebetulan sekali... ayahku tukang becak, lho.... Kamu naik becak ayahku saja, mau? Biar diantar sampai rumah dengan selamat, dan tidak perlu membayar karena kamu temanku....” Tito berkata dengan riang, lupa bahwa Dewi tidak pernah menganggapnya teman.
“I-iya.... Terimakasih,” Dewi menjawab tulus. Hatinya lega oleh perasaan lapang dan penerimaan bahwa teman tidaklah harus orang yang setara dan sekaya dirinya. Karena kebaikan hatilah yang lebih penting.
Keduanya berjalan beriringan melintasi jembatan itu. Ah, indahnya persahabatan....

Yogyakarta, 1 Mei 2009